Monday, July 23, 2018

10 : Stay Still

You have no idea what will happen with your extraordinary life.
It can make you heels over head at the same time
Yap! Dengan pagi yang terlihat biasa-biasa saja di hari ulang tahunnya kemarin lusa, 
Kemudian datang seseorang yang ingin serius dengannya di malam hari,  
Kemudian hari ini, baru saja ia menerima pesan gambar sebuah screenshoot tiket pp Jakarta - Jogja minggu ini. Dari Argi. Setelah satu minggu tidak ada kabar apapun darinya. Apapun.
"Minggu ini ke Jogja mau ngga, Nay?"
"Ngapain?"
"Kamu lupa? Katanya pengen nonton pelepasan lampion di Borobudur? Dasar! Apa sih yang kamu inget lagi dari aku, Nay? Gini nih kalau bukan prioritas lagi."
Seperti dihipnotis ( seperti biasanya ), di-iyakan ajakan lelaki itu dengan gampangnya. 
Gampangan? yeahh.. sort of. 
Lelaki itu meninggalkan Kanaya yang baru sadar dengan anggukannya.
"Kenapa gue gampangan banget ya, Ting? Kenapa gue ga jawab 'Mmm.. let me think about it first?" sesal Kanaya. 
Kiting di depanya hanya bisa membolak-balikan majalah fesyen dengan enggan.
"There's no any reason but Argi. Ya karena Argi yang ngajak,"
Meninggalkan Kanaya dengan penuh kejengkelan yang menggunung pada dirinya sendiri.
"Terus Indra gimana? Udah dikasih jawaban?"
"Belom. Skip bahas ini ya, Ting."
"Jangan jadi cewek oportunis, deh ya. Kalo ga suka bilang ga suka. Jangan karena lo di php-in, terus lo nge-php-in orang juga. Karma does exist, babe."
"Lo kayak baru kenal gue, deh," pandangannya mulai jutek ke sahabatnya itu.
"Karena gue kenal lama sama lo, Nayaaaaa. You can't even say NO!"

                                                                                 ****
"Finally! Touch down Jogja!!" seru Kanaya sesampainya di Jogjakarta.
Masih pukul 06.00 di kota gudeg itu dan udara pagi yang menyelimuti stasiun itu, saat keduanya sampai di Stasiun Tugu Jogja, stasiun yang menjadi saksi bisu kepergian dan kepulangan Kanaya dari Ibukota selama 6 tahun terakhir ini.
Tempat  pertama dimana ia melepaskan diri dari pelukan Ibunya untuk waktu yang lama,
Tempat pertama dia menaruh harap begitu besar saat pergi,
Tempat pertama yang ia rindukan ketika momen lebaran datang,
"Sambil nunggu Rian sama yang lainnya, kita sarapan dulu, yuk."
"Ngemil roti aja ya, Mas. Sarapan di rumah aja, mama udah masak soto soalnya."
"Ok sip. Jadi enaaak. Eh, beneran ini nggak pa-apa nginep di tempat kamu? kita berenam lho.,"
"Iyaaaaah. Tenang aja sih. Mama malah marah lho kalo sampe kita nyewa penginapan. Tapi ya itu, seadanya aja ya. Kalian tidur nya empet-empetan di kamar Nia."
"Kita tidur di teras juga jadi kok, Nay."
"Hai, pelancong!" tak lama terdengar panggilan dari suara yang dia kenal. Dilihatnya Rian, dari bagian Product Engineer di tempatnya yang melambaikan tangan.
"Hai, Mas Yan!"
"Hai, hai. Udah lama ya? Gimana rasanya ketinggalan kereta?" sindirnya.
"Udah yuk cabut!" kata Argi cuek menepuk bahu Rian yang masih diiringi cekikikan Kanaya.
"Sengaja ketinggalan kan, lo?" cercanya tak puas.
"Mana ada sengaja ketinggalan!"
"Mana yang lain, Mas Rian?"
"Ada di mobil, Nay. Lo ngga diapa-apain sama Argi kan? Sok-sok ketinggalan kereta lagi ni anak."
"Berisik banget woy. Absurd. Cabut ayok udah. Yan, lo nyetir." suruhnya
"Den, ambil, Den. Lo kan paling muda." terusnya pada Deni, pegawai anyar yang masih kontrak yang dipaksa Rian ikut perjalanan ini. Harusnya ia tahu kalau mentornya itu hanya akan membuatnya jadi pesuruh.
Tak butuh waktu lama untuk Argi untuk keluar dari mobil dan mengambil setirnya.
"Biar gue aja," Argi merebut kunci yang sudah dipegang Deni dan langsung duduk di belakang kemudi.
Kanaya tahu ada yang kurang beres dengannya saat memasuki mobil. Terlihat sesosok lelaki mirip dengannya yang matanya tertutup buff. Ada Ardi yang tertidur sudut kursi paling belakang.
Dengan didampingi Rian sebagai co-driver, Argi membawa rombongan itu ke rumah Kanaya.
Kanaya dan Ria istri Rian yang masih sibuk berkenalan satu sama lain, meninggalkan Lingga autis dengan smartphone-nya. Tak ketinggalan Deni yang mencoba tidur seperti teman sebelahnya, Ardi.

                                                                           ****
Lapangan Gunadharma di pelataran Candi Borobudur sudah ramai ketika Rombongan sampai di sana. Karena akses ke Candi Borobudur sudah ditutup sejak sore, jadilah mereka harus menempuh jarak lebih jauh dari biasanya. Mereka tiba pukul10 malam, telat 1 jam dari schedule pelepasan yaitu pukul 9 malam.
Ribuan polisi yang membentuk brikade mengelilingi lapangan Gunadharma, membuat lapangan itu tak bercelah kecuali pintu masuk. Membuat ratusan bahkan ribuan orang berdesakan di pintu masuk acara pelepasan itu.
"Yah udah mulai pelepasannya,"sesal Ria sambil mengusap cabang bayi di perutnya. Mereka yang masih berada di pintu masuk Candi Borobudur seraya mempercepat langkah menuju lapangan Gunadharma.
"Tenang aja, pelepasannya nggak serentak kaya tahun kemarin kok, Ri. Jadi dibagi beberapa kloter biar semua kebagian nerbangin lampionnya. Udah ngga usah buru-buru,"jelas Ardi
"Tapi katanya tahun ini lebih sedikit, Di,"
"Iya Yan, tahun ini cuma 2000. Kalau tahun kemarin sih katanya sampai 5000, tapi karena terlalu crowded, banyak umat yang jadi ngga nyaman ibadah dan jadi kotor banget, kebijakannya diubah tahun ini. Lebih sedikit dan pelepasan lampion antara umat dan masyarakat umum terpisah,"
"Lo udah pernah emang, Di?"tanya Lingga.
"Belum. Sok tau aja gue. Kalian percaya ini kan?"
"Kampret."
"Yaampun, berasa nonton konser. Masuknya begini amat," 
"Gue cari pintu masuk lain ya. Pasti ada. Kalian stand by HP ya," ujar Kanaya.
"Yuk. Den, ikut gue" sahut Argi menepuk tangan yang sudah berjalan mendahului Kanaya. m Meninggalkan Rombongan lainnya yang mencoba masuk berdempetan dengan yang lainnya.
"Kamu temenin Ria aja harusnya, Nay,"
"Aku kan kecil, Mas. Bisalah nyelip-nyelip."
"Nyelip apaan? hahaha. Ini padat banget, Nay."
"Lihat aja nanti,"
Mereka mulai mengelilingi lapangan Gunadharma mencari celah masuk. Tak mudah memang, karena selain dikelilingi brikade, lapangan itu sudah dipenuhi masyarakat umum yang ingin mengabadikan momen setahun sekali itu.
Dengan keterbatasan penglihatannya, Kanaya terus mendongakkan kepala untuk mencari-cari celah mana yang bisa dimasuki. Sama seperti ia mencari celah pintu hati Argi (#eaaa- will be deleted)
Dengan gerakan yang gesit, tanpa sadar Kanaya perlahan mulai menjauh dari Argi dan Deni  yang sibuk juga mencari celah. Dengan semangatnya, cewek itu mengikuti beberapa rombongan yang naik ke lapangan setinggi 1,5 meter itu dengan memanjat tanpa tangga. Rasa penasaran yang membawanya makin menjauh dari Argi dan Deni.
"Mas, mas, nyuwun sewu, badhe mlebet pelataranne riyin nggih?" tanya seorang bapak-bapak di sebelah Kanaya pada lelaki di depannya.
"Nggih, Pak. Mlebet saking  mriki riyin, Pak," ia menunjukkan satu bagian yang hanya dibatasi tali dan cross line, tak ada polisi dan tak ada massa. Otomatis membawa pencerahan bagi Kanaya.
Sementara 200 meter dari tempat Kanaya menemukan pencerahan...
"Eh, Mas Gi, Mas Gi, Kanaya?" tanya Deni yang pertama kali sadar bahwa Kanaya tak lagi ada di sekitarnya.
Argi menyapu pandangannya ke sekitar mereka. Walau dengan Argi yang mencapai 185 meter, tetap tak mudah menemukan gadis 150 meter itu di tengah kerumunan di depannya. Sama seperti ia tak mudah menemukan gadis penunggu hatinya (#eaaa.. - will be deleted, too? ;p)
"Nay.." teriak Deni, yang berharap didengar Kanaya. Tak ada jawaban. Tak ada Kanaya yang mendekat.
"Den lo ke arah sana, gue ke sini, ya. Stand by HP," ujar Argi yang diiringi anggukan Deni.
10 menit berkeliling diantara padatnya orang-orang yang antusias menyaksikan lampion-lampion di tengah lapangan Gunadharma malam itu, sosok Kanaya tak kunjung terlihat.
Harusnya ia tahu, cewek itu dengan ringan bisa berjalan kemana saja yang ia mau.
Harusnya ia tahu, cewek itu dengan mudah bisa hilang dari pandangannya kapan saja ia mau
Harusnya ia juga tahu, cewek itu bisa membuat hatinya kacau.
Argi yang tak peduli lagi beberapa lampion sudah diterbangkan, Argi yang tak bisa mendengar dering smartphonenya berbunyi tanpa henti, Argi yang tak bisa mendengar seseorang meneriakkan namanya. 
Makin frustasi, ia masih mengedarkan pandangan ke orang-orang sekitarnya. Sampai seseorang menepuk bahunya. 
Someone said, if there is a time in life when everything around you get blurry and there is only one thing you stay focus at, this is the time for Argi.
"Yaampun susah banget manggil, Mas Argi. Dari tadi..mmm...mmm"
"Kamu yang kemana aja, Kanaya!" serunya yang tanpa sadar mendekap gadis di depannya. (imagine Ji Chang Wook hugged Kanaya tightly. I swear the writer is still thinking this scene is it too much or not, bcs she's affected by drakor time after time :p )
"Aku..tadi.."
"Bilang dulu kalau mau pergi! Lain kali.."
"Mas Argi..akunya jangan diketekin," kata Kanaya tersenyum kecil. Mencoba sekuatnya untuk tak pingsan tiba-tiba.
"Eh, sorry," sedetik kemudian dilepaskannya pelukan-paniknya,"Kamunya yang jangan seenaknya pergi. Deni nyariin. Semua nyariin."
"Iya, Mas maaf. Tadi aku telponin Mas Argi nggak diangkat."
"Mana denger. Orang rame gini."
"Tapi yang lainnya bisa kok aku hubungin."
"Yaudah, yuk, buruan masuk. Udah nemu pintunya?"alih Argi.
"Udah. Kita manjat dulu lewat situ, Mas," tunjuk Kanaya pada salah satu jalan kita ke atas naik lewat situ, Mas."
Kemudian Argi memanjat lebih dahulu dan mengulurkan tangannya ke Kanaya.
Kanaya yang sadar sebenarnya tak butuh bantuan, menyambut tangan Argi. Untuk ketiga kalinya ia membiarkan ego nya jatuh dalam uluran tangan lelaki pendobrak hatinya.
Pertama waktu ia turun gunung Semeru pada pendakian massal bersama Argi, ketika ia mendaki salah satu gunung di Purwakarta bersama Argi dan malam ini. Malam pekat tak berbintang yang  diterangi ratusan lampion mengangkasa. Lampion tanda harapan ke surga bagi orang Budha.
Uluran tangan itu tak pernah gagal membuat perasaan Kanaya menjadi tak biasa.
Uluran dari seorang teman kerja, yang selalu membuat Kanaya bersyukur mengaguminya.
Uluran dari seorang 'penjaga', yang selalu membuat Kanaya bersyukur dilindunginya
Tangan itu yang tak melepas genggamannya. Paling tidak sampai sekarang.
Tak butuh waktu lama mereka kembali bergerombol, berkat Kanaya dan Ria yang sedang hamil, mereka berhasil masuk dengan mudah dan cepat.
Acara pelepasan lampion kali ini berbeda dari tahun kemarin, 1 lampion diterbangkan oleh 4 - 6 orang. Artinya Rombongan Jakarta itu dengan puasnya bisa melepas 6 lampion ke angkasa bersama ratusan orang lainnya.

                                                              ***
Di pelataran lapangan Gunadharma, diantara Rombongan yang sedang mempersiapkan pelepasan lampion kedua..

Kanaya.
Tuhan, apa ini? What do you trying to do, Gi?
Selamat! Kamu berhasil lagi membuatku seringan awan menari-nari di langit kelam.
Terimakasih.

Argi.
Gi!!! What did you do? Control, Gi. Control.
Use your logic, Gi.
Tuhan, apa ini? Bisakah Kau tunda dulu?
Maaf.

"Ambil angle dari bawah aja, Mas Yan. Bagus!" ide Deni
"Iya nih. Cakep." jawabnya setelah memposisikan kamera prosumernya dari bawah. Dari kameranya, gestur Rombongan pada detik-detik pelepasan lampion diperlihatkan. Yang mulanya dipegang bersamaan dari enam penjuru, kemudian dengan aba-aba biksu utama, lampion dilepaskan dengan penuh nikmat.
Mereka memang bukan umat Budha, tapi bahagia dan syukur tak bisa disembunyikan dari keenam anak adam itu. Juga rasa beruntung bisa menyaksikan dan turun langsung acara setahun sekali di Candi Borobudur itu.
"Kita foto juga waktu yang lain pada nerbangin." saran Deni lagi.
"Tumben lo pinter, Den. Ga percuma ya,"
"Makanya gue jangan suruh jadi sopir terus, Mas." protesnya kembali. Disusul tawa Kanaya.
Serambi Deni mencari salah satu panitia untuk dimintai tolong, kelimanya mengambil posisi masing-masing. Membuat hati Kanaya yang sedari tadi di sebelah Argi berdebar. Argi dan Kanaya tak berjarak. Ardi dan Kanaya juga tak berjarak.
"Siap ya?" tanya panitia.
"Hitung mundur ya, Mas." pinta Ria sudah merangkul Rian. Diikuti yang lain saling merangkulkan tangan ke rekan sebelahnya.
"3....."
Tak terkecuali Argi. Tangannya yang sudah berada di bahu kiri Kanaya dipaksa bersentuhan dengan lengan Ardi.
"2....."
Ardi yang hendak merubah posisi tangannya, mengurungkan niat. Ada rindu yang menyelip.
"1...."
Masing-masingnya mengatur postur tanpa berpapasan pandang. Sewajar yang mereka bisa.
Dan Kanaya berakhir dengan gestur "peace" dengan kedua tangannya.
"Lagi ya, Mas. Nggak berasa," ujar bumil lagi.
"Gue aja yang.."Kanaya yang hendak maju menawarkan diri, kembali pada posisinya. Tangan Argi menariknya kembali di sebelahnya. Di antara dirinya dan Ardi.
"3..."
Lengan mereka bertemu kembali di bahu mungil diantara keduanya.
"2..."
Kanaya dengan sok acuh, melingkarkan tangannya pada pinggang kedua lelaki itu.
"1..."
Dalam 1 frame, keenamnya tersenyum kembali. Sesaat Kanaya merasa ia adalah jembatan kedua kakak beradik di sebelahnya.





 
                                                                                 


No comments:

Post a Comment