Friday, October 12, 2018

12 : Memeluk Lalu

"Pulang ya, Dek," lirih Ibu. Mukanya yang bersih makin memucat, bibirnya kering dan dibiarkannya rambutnya berantakan di bantal putih milik Rumah Sakit tanpa hijab.
"Maaf ya, Bu. Adek belum bisa,"
"Mas sekarang udah banyak berubah kok, Dek. Ayah juga,"
"Ngga sekarang ya, Bu. Adek janji secepatnya," kata laki-laki itu dibuat sepelan mungkin. Khawatir terlalu kentara ia berbohong. Diciumnya tangan Ibunya kemudian mengusapkannya ke pipinya. Seperti yang sering ia lakukan dulu, sebelum takdir membawanya kuliah di Jepang, sebelum mengenyam pendidikan militer, sebelum meninggalkan rumahnya.
"Ibu butuh Adek. Ibu butuh kalian. Adek ngga lihat ini tangan Ibu udah keriputan, udah makin kelihatan urat-uratnya kayak uler,"canda Ibu terpaksa. Tak bisa ia tahan lagi bulir air di kedua sudut matanya.
"Bu. Ibu tetap yang tercantik kok di mata Adek," Diciumnya kembali tangan sang Ibu dan kemudian diusapkannya ke pipinya.
Di balik tirai ruangan kelas 1 itu, Argi mendengar sepasang obrolan Ibu - anak itu dengan haru. Egonya yang belum bisa berdamai, lagi-lagi tak bisa diajak berkompromi. Setinggi itukah dinding tak kasat mata antara dia dan keluarganya?
Bahkan, langkah kakinya pun tak mau diajak bernegoisasi untuk sekedar menyapa seseorang di dalam sana.
Dengan pelan, ia mem buka gagang pintu untuk keluar. Kali ini, Argi masih memilih menunggu.

                                                                            * * *

"Adek pulang ya, Bu?" pamit Ardi setelah 40 menit berbincang dengan wanita kuat dan sabar di depannya, "Ibu yang teratur makan sama minum obatnya,"
"Kalo Ibu sembuh Adek makin nggak mau pulang, kan?"
"Loh, kok gitu ngomongnya. Kalo Ibu sembuh, udah kuat masak rawon lagi, kan Adek langsung cussss terbang ke rumah,"
"Besok minggu Ibu pulang, Dek. Adek ikut jemput Ibu ya?" pintanya pada anak bungsu yang sudah lama tak dilihatnya itu.
"Nggak usah nunggu besok Minggu, Bu. Besok Adek ke sini. Lusa juga. Pokoknya setiap hari,"
Kemudian digenggamnya tangan Ardi lama. Lagi-lagi matanya meneteskan air mata. Kali ini deras. Tak biasanya ia cengeng seperti ini. Tak biasanya ia tak bisa menahan peri oleh hati yang sudah tergores dimana-mana ini. Tak biasanya ia jadi Ibu yang hilang kendali.
"Buuu.. jangan nangis, Bu. Adek nggak pergi-pergi lagi, Bu. Janji." yakin Ardi pada Ibunya yang berulang kali sudah mengusap punggung dan kepalanya. Persis seperti berpuluh tahun lampau saat Ardi tak bisa tidur karena takut, karena mati lampau atau karena masih berenergi untuk main.
Ibu selalu mengusap Argi dan Ardi sampai mereka tertidur. Tak jarang membuat keduanya berebutan di pelukan Ibu.
"Assalamualaikum, Bu."
"Waalaikumsalam, Dek," Ibu menyeka kembali air mata yang terlanjur membanjiri pipinya yang sudah keriput.
Sedangkan Ardi, hanya bisa merintih diam dalam hatinya. Ia benci dan marah pada diri sendiri. Perasaannya yang terlanjur dibuat sakit hati oleh Ayah dan Kakak yang dulu amat dia kagumi, mengembang kembali begitu ia melepas genggaman Sang Ibu.
"Di..."
"Eh, Hai, Mas." Ardi kaget melihat Kakaknya sudah di depan pintu masuk kamar Ibunya. Ia menyeka air mata yang sedikit menyembul di ujung matanya.
"Kapan lo bisa pulang?"
"Gue sudah pulang, Mas. Kali ini gue akan kemana-mana."
"Pulang ke rumah Ibu, Di."
"Jangan banyak berharap dulu dari gue, Mas," kata Ardi menepuk pundak Kakaknya sambil beranjak pergi.
"Gue bisa pindah ke apartemen kalo lo masih keberatan," seru Argi kembali meyakinkan Adik satu-satunya.
Tak ada jawaban. Tak ada tanggapan. Ardi melangkah mantap meninggalkan Argi di lorong rumah sakit yang sepi. Meninggalkan Kakak satu-satunya. Sahabat baiknya. Dulu

Tak bisa dihindari, memori kanak-kanak itu muncul di depan Ardi yang berjalan ke parkiran motor. Kenangan itu menyembul tanpa permisi saat ia tengah memanaskan mesin sepeda motor CBU nya.
"Mas Argi mau jadi apa nanti?"
"Eh? Kenapa tiba-tiba tanya gitu?" Argi kaget. Terlebih tak percaya dengan apa yang ditanyakan oleh Adiknya di tengah-tengah jeda mereka bermain PS.
"Nanya aja. Kita jangan jauh-jauhan ya, Mas. Kita cari kerjanya di sini aja. Nemenin Ibu biar Ibu ga kesepian,"
Argi yang dibuat tercengang oleh kedewasaan atau kesablengan Adiknya, memeluk bahunya.
"Hahaha Iya. Tenang aja, Dek. Kalau bukan kita siapa lagi yang ngabisin kue bolu sama kolak buatan Ibu, kan?"
"Yeeh.. itu mah Mas Argi aja yang ngabisin jatah Adek," kemudian Ardi kembali memulai 'match' mereka dengan hati yang tenang. Senang. Bersyukur. Apalagi yang ia minta selain punya Ibu yang teramat sabar dan kuat juga pintar memasak. Apalagi yang ia minta selain punya Kakak yang selalu bisa diandalkan dan bisa menjadi sahabatnya.
Saat itu Ardi berumur 12 tahun, sedangkan Argi berumur 14 tahun. Mereka yang masih polos memang tak pernah tahu apa yang terjadi 6 atau 7 tahun mendatang. Mereka tak pernah menyangka, hubungan hangat yang sudah bertahun-tahun mereka bangun di bawah atap kamar berukuran 5 x 5m itu bisa mendingin seiring dengan waktu mengantar kedewasaan masing-masing pribadinya.

Di saat yang sama, Argi sedang duduk di sebelah Ibunya yang masih tidur terbaring lemas di ruang perawatan, saat memori kanak-kanak itu muncul. Bukan, bukan kanak-kanak. Lebih tepatnya saat beranjak remaja.
"Ya! Silakan sana kamu keluar dari rumah ini sekalian. Sana pikir dengan otak warasmu. Mau jadi apa kamu selain jadi Kapten, ha? Coba pikir dengan otakmu yang pintar itu."
"Ayah.." Ibu hanya bisa menangis sambil mengelus bahunya. Harapannya sudah sedaritadi sirna untuk bisa menenangkan suaminya sedang naik darah. Bertahun-tahun, memang belum bisa sepenuhnya ia redam emosi suaminya ketika sedang menguap. Ditambah suaminya baru tiba di rumah sekitar sejam yang lalu sehabis perjalanan panjang 6 bulan ke benua Eropa sana.
"Yah, Mas Argi bisa jadi sukses dimanapun ia mau, Yah. Tak harus jadi Nakhoda, kan," Ardi refleks meninggikan nada bicaranya saat Kakaknya disudutkan.
"Kamu urus dulu nilai rapormu yang pas-pasan itu, Di ! Baru urus yang lain. Baru urus kepentingan kakakmu!" Ayah tak sedikitpun menurunkan suaranya saat berbicara dengan anak bungsunya.
"Ayah sudah bukakan jalan! Ayah sudah pastikan kamu bisa masuk di sana. Test itu hanya formalitas kamu tahu. Tak perlu kamu susah payah cari kampus lain. Tak perlu kamu hidup susah, Argi. Hidupmu sudah terjamin di sana!"
Argi diam saja kali ini. Ia tahu persis ini akan menjadi bom waktu. Kehendak Ayahnya harus dituruti. Kehendak Kapten yang tegas dan keras harus dituruti, baik oleh awak, istri bahkan sampai anaknya.
Argi masih diam. Sudah lebih dari setahun ini Argi terus mengutarakan niatnya yang tak ingin melanjutkan sekolah pelayaran demi keinginannya menjadi insinyur.
Alih-alih ingin menjadi Nahkoda setiap ia diajak Ayahnya melihat-melihat bermacam-macam Kapal dan museum Kapal, Argi ingin menjadi insinyur yang kelak bisa menciptakan benda besar itu.
Alih-alih ingin menjadi Nahkoda setiap ia diajak Ayahnya memegang kemudi kapal, Argi malah sibuk dengan logika bagaimana benda bundar itu bisa punya pengaruh besar terhadap jalannya kapal laut yang bisa membelah lautan biru.
Bom waktu itu meledak saat Argi berumur 17 tahun, di tahun terakhir SMA, dan Ardi berumut 15 tahun. Bom waktu itu menyisakan Ibu yang menangis terisak-isak di teras rumah, Ardi yang menangis tanpa suara sambil memegang bahu Ibunya dan Ayah yang langsung masuk ke kamarnya.
Bow waktu itu menyisakan kekosongan di kamar Argi. Malam itu juga, Argi memutuskan untuk pergi

                                                                * * *
Kanaya masih terus memutar lagu-lagu Tulus dari smartphonenya sambil mengayuh sepeda statis di rumahnya. Sama seperti kebanyakan perempuan di sekitarnya yang mengagumi lagu-lagu Tulus yang punya lirik sederhana tapi mengena, menawan karena tidak berlebihan, indah dan membuat hati penikmatnya bungah.
Sama persis seperti 8 bulan yang lalu, hati Kanaya sungguh bungah seminggu setelah Argi mengiyakan ajakannya ke acara Syncronize Fest, kegiatan yang sudah tak dilakukannya lagi setelah sekian lama.
Makin senang, karena bisa menikmati langsung band-band kesukaannya saat duduk di bangku kuliah dulu. Mulai dari musik Indie yang diusung Efek Rumah Kaca sampai alunan pop-jazz yang dibawakan Arina - Mocca. Terlebih lagi alunan lagu Hyperballad - Bjork, membuat Arina yang mengocover lagu menawan itu makin bercahaya ( ini bayangan Kanaya aja sih ya)
Makin senang, ketika Argi menyamakan tubuhnya mengikuti alunan lagu-lagu yang Kanaya suka, ketika mereka makan sambil menyaksikan perjalanan karir grupband Mocca versi layar tancap, ketika Argi menungguinya beribadah karena dimana-dimana antrian perempuan lebih mengular dari laki-laki.
Dan terimakasih kepada Teman Tulus yang selalu memadati setiap konser idolanya, karena merekalah yang membuat Kanaya susah jalan dan susah melihat ke depan karena 'kelebihan' tinggi badannya, karena merekalah yang membuat Argi harus menggenggam tangan kecil Kanaya agar tak jauh-jauh darinya (sengaja ga pakai kata 'terpisah' supaya tetap jadi kalimat yang sederhana), karena merekalah Argi menggengam tangan itu untuk dituntun mendekat ke arah stage, kerena merekalah Argi tidak melepasnya sampai dengan kedatangan Tulus datang menyapa seluruh penontonnya dengan lagu pertama..
"Dia indah.. meretas gundah.." lagu Teman Hidup yang dipilih sebagi pembuka konser itu sungguh menambah si bungah yang sudah dirasa Kanaya daritadi..
"HUWWWWW...TULUSSSS.." teriak Kanaya (dan teman Tulus lainnya) melamban kedua tangan pada idolanya.
"Hahahaa.. Nayyy...ngga bisa biasa aja gitu?! Hahaha" Argi yang kaget, langsung tertawa melihat tingkah gadis satu kantor di sebelahnya.
Kanaya yang melihat tawa lelaki disebelahnya, makin histeris dibuatnya. Ingin rasanya berteriak, "Argiiiiii......" kalau saja tak ingat ia akan benda-benda asing yang mendarat di kepalanya. 
Cukup sederhana membuat Kanaya sebegitu berbahagia. Melihat Argi tertawa karenanya. Hanya karena dirinya.
Malam itu tak hentinya Kanaya berterimakasih kepada para Teman Tulus disekelilingnya.
Malam itu semuanya terlihat menawan. 
Satu malam di bulan Oktober itu sungguh membuat keduanya tertawan. 
Satu malam sebelum Kanaya membuat suatu keputusan di dua bulan kemudian, keputusannya untuk membuat sebuah pengakuan.
"Assalamualaikum... Naayyy.... " teriak sang Mama dari lantai bawah. 
"Waalaikumsalam. Maaahhhh!!!" buru-buru Kanaya turun dari sepeda statisnya menuju ke empunya suara. Mencium tangan wanita pemilik hati yang sudah 3 bulan tak ditemuinya, mencium pipi kanan dan kirinya, beralih pelukan kencang untuk Mamanya.
Mama Kanaya balas memeluk kencang si anak rantau yang baru pulang pagi itu. 
"Udah lama nyampenya kamu?"
"Yaah sejam sih, Ma. Mama beli apa di pasar."
"Kakap....buncis."
"Yeaaay!" seru si sulung girang karena masakan favoritnya sebentar lagi terhidang di meja makan.
"Bersih-bersih dulu kamu. Enak aja. Mbak Ruh udah seminggu sakit, Nay. Mama suruh pulang aja."
"Tenang aja maa.. kamar mandi habis ini aku bersihin. Habis makan Naya yang nyetrika."



No comments:

Post a Comment