Tuesday, June 6, 2017

3 : January in you

Kanaya memasuki ruangan 10 m x 8 m dengan terburu-buru. Topi nya yang sudah tak rapi lagi, nafasnya yang tersengal dan senyumnya yang memudar dari sudut bibirnya sedari pagi tadi disambut tatapan aneh Argi yang mengikuti gerakannya. Tak sengaja bertemu, batin Kanaya tersentak.

"Kanaya Fortunia..what time is it?" tegas Pak Bos memelototinya
"Sorry, Pak. There's part urgent that need follow up," kemudian ia duduk di kursi kosong samping Argi, "Intinya, Mas. Mereka OK untuk kebutuhan minggu ini 40 pcs." cewek itu gantian berbicara pada lawan jenis di sampingnya. Mencoba mengatur nada suaranya yang masih terengah-engah.  Mencoba menenangkan denyut jantungnya  yang berirama tak biasa.
"Serius? Ok, Nay. Thanks"
That's it. Ok? Thanks? Dua kata yang membuat Kanaya kembali kecewa.
Pagi di hari Jumat itu adalah pagi pertama setelah sekian lama hati Kanaya tersengal karena lari, jatuh dan kemudian berdiri lagi karena jarak yang dia bangun sendiri.
Dan faktanya adalah bahwa Kanaya belum bisa berdamai dengan kehadiran fisik Argi di dekatnya tanpa merasa tidak biasa.
15 menit yang panjang sampai akhirnya meeting selesai. 15 menit yang sangaaaaat panjang dibandingkan dengan 2 jam nego-ngotot-berurat dengan vendornya.
Lagi-lagi masalah hati yang tak bisa dibuat mudah.
"Ke nikahan mas Tama bawa mobil, Mas?" tanya Kanaya saat masalah kerjaan selesai.
"Mau pada dateng jam berapa, Nay? Kamu kabarin saya ya," perintah Pak Bos, yang kemudian beranjak pergi dari tempatnya. Menyisakan 2 anak buahnya yang terlihat biasa saja di ruangan 10 m x 8 m itu.
"Siap Pak!"
"Kenapa, Nay? Mau bareng? Nanti saya jemput" jawab Argi.
"Engga, Mas Argi. Temen-temen lagi cari tebengan sih. Aku berangkat bareng Mbak Ika,"
"Oh.. OK. Emm..ngapain nanya-nanya kalau gitu."
"Ya ngga usah sewot kali, Mas. Biasa ajaaa.."
"Lagian... Harusnya saya tahu sih kamu ngga mau lagi pergi sama saya."
"Loh..kok jadi kamu yang ngambek sih?," Kanaya memperhatikan sekelilingnya. It's kind of secret thing to say, "Ini aku lho yang nggak kamu diemin 2 minggu. You left me without a word. Shouldn't I be mad with you?"
"You ask my permission to pull yourself back from me? Di saat saya lagi berantem sama bokap dan ada masalah di kerjaan, Nay. Boleh dong saya marah."
"Marahnya harus 2 minggu?"
"Marah saya sama kamu 1 hari, Nay. Sisanya kesel."
"........" sama -sama terdiam.
Sebenarnya, banyak asumsi yang ia ingin tanyakan, banyak dugaan-dugaan yang ingin ia konfirmasi, banyak kata-kata yang ia ingin ucapkan. Ingin sekali ia memaki pria yang minggu lalu ia tangisi itu.
"But.. at least you give a word, Gi."
"Hey, you both. Can I get this room?" seseorang sudah berdiri di depan muka pintu. Matanya melotot tanda urgent. Tatapan -yang suka maksa- itu adalah milik Ricko, Kanaya's best partner in tears.
"Sure, Rick" jawab Argi, "Kita lanjut di kafe ya, Nay. Kamu ada meeting lagi sehabis ini?"
Kanaya menggeleng.
"Eh, ada apa kalian ya pake ke kafe sore-sore gini? Ngga ada kerjaan banget."
"Berisik," sahut Kanaya sewot. Kemudian keluar ruangan mendahului Ricko yang setengah dongkol dan setengah terbengong.
"Is she on her period?" Ricko berbisik ke Argi. Argi menepuk bahunya.
  *******
Dan ketika ingin mengatakan segalanya, perempuan lebih banyak memilih diam. Diam mendengarkan sampai dimana emosinya meronta untuk didengarkan.
Pun dengan Kanaya sore itu. Sudah hampir 1 jam ia 'disogok' frappe mochacino favoritnya di kafe basement kantornya yang berhasil membuatnya lebih memilih tak membahas kejadian di malam tahun baru itu.
"Kamu nggak jadi marah-marah sama aku, Nay?"
"Buat apa marah-marah?"
"Bukannya belum puas tadi?"
"It doesn't change anything sih, Mas Gi. But, it's ok. Aku udah biasa aja kok," ucapnya lirih.
Aku udah biasa aja, kok. Pilihan kalimat yang akhirnya Kanaya keluarkan untuk menghibur dirinya sendiri. Ini adalah saat dimana ikhlas menjadi mata kuliah yang wajib ia tempuh selama semester penuh. 5 SKS tanpa ampun.
Kanaya harus ikhlas, mengakui bahwa lelaki di depannya tidak mencoba melakukan apapun yang diperlukan untuk membuat perasaannya membaik. Tidak satupun
"Mungkin buat kamu, itu hal yang biasa ya, Mas Gi."
"....."
"But for me, its very first time. Rencananya sih mau masa bodoh perkataan orang-orang yang bilang 'you just to wait' atau 'kamu perempuan, kayaknya ngga pantes deh ngomong duluan'. Sekarang sepertinya aku mulai tau kenapa mereka bilang gitu,"
"No.. I mean.. Terimakasih, Nay."
Again. Well, aku lebih suka kamu bilang, 'Nay...jangan lupa makan nasi dan sayur!' dengan galak.
"Aku juga kesel sama diriku sendiri yang kaya gini, Nay. As you know,"
"Maksudnya?"
"Kamu tahu kan aku pernah gagal di hubungan yang serius. Sempat akhirnya balik lagi untuk bisa percaya ke orang lain, lagi-lagi aku gagal, Nay. Karena itu, aku masih belum bisa untuk menetap, sampai sekarang."
"..."
"Aku masih takut akan resiko atau kecewa sama apa yang aku pilih nanti, Nay. I know it sounds weird and clumsy, but ya, that's what I am now Nay. "
Gadis didepannya itu masih terdiam. Menatap kue croissant di depannya sambil perlahan menelaah kata-kata Argi yang sering ia temui di novel romantis koleksinya. Kata-kata klise itu sekarang nyata keluar di hadapan orang yang ia suka.
"Semoga ini yang terakhir ya, Mas Argi. Semoga aku jadi orang terakhir yang kecewa akan sikap kamu yang kaya gini. Aku pamit ke office ya. Thank you traktirannya.."
"Oh.. OK" Argi mengangguk.
"Kamu udah makan, Nay?"tanyanya saat Kanaya mulai bangkit dari tempat ia kursinya.
"Kayaknya Mas Argi ngga berhak deh nanya itu ke Kanaya," balasnya tersenyum.
Senyum buatan yang ia sering pamerkan ketika hatinya sedang tidak bersahabat dengan gembira.
Well, like people said, nobody really knows the women's heart is..

No comments:

Post a Comment