“A very happy birthday, Gi. Barakallah. Good luck for your
life ahead. Stay happy and healthy..”senyum lebarnya.
“Hih..sok-sok-an nih anak. Seriously, you don’t have to do
this, Nay. But, thank you.”
“And... always be grateful and thankful for everything you
have ya, Bos Kecil...” sambungnya
“Iya, bawelll.. I will always be. May I?” Argi kemudian
membuka kado kecil dari perempuan dihadapannya “Kanayaaa..!! What the... “
Matanya mendelik. Menatap tak percaya pemberian cewek mungil
di depannya.
Senyumnya lebih sumringah dari tawanya seminggu ini.
Sadar, sudah cukup lama pria itu tak merasa hatinya sebungah
malam ini.
“This is more than I expected, Nay. Kamu itu ya!”
“You deserve it, Gi. For everything you’ve done this year.
Congratulation! Kamu sukses jadi bos kecil. Hehe..”
Terkesan kekanakan, tapi cewek mungil itu tak bosan-bosannya
memamerkan senyum lebar, bertepuk tangan tanpa riuh, sengaja untuk membasuk telapaknya yang mulai berkeringat
“Oh iya, ada satu lagi. There’s something that I should tell
you now, Gi”
“Apalagi sih Kanaya Fortunia?” tanyanya tak percaya.
“Hmmm...Argisara Mahendra, the truth is, I like you. Maybe
you already felt it.”
“Nay..” dalam herannya, ia memotong. Setengah tak percaya.
“Let me finish first, Gi,” Dia kembali menelan ludah. Berharap
aliran darah yang terlalu deras tidak mengacaukan rentetan kata-kata yang sudah
disusunnya.
Bukan, bukan. Ini sudah sangat kacau. Bukan ini yang
sebenarnya ia skenariokan dari kemarin.
Bukan pernyataan yang harusnya keluar. Melainkan pertanyaan
yang sudah menguap beberapa menit lalu.
“I like you, but I know you don’t,”
What?? What Nay? What a stupid confession it is!
“I have no idea what’s going on here,every Sunday-spent
well, you took me to the airport or train station, kamu yang nggak pernah absen
ngebawelin aku buat makan malem, kamu yang pasti mau aku ajak ke kedai kopi
baru even kamu nggak suka and most of all, kamu selalu ada, Gi. And it comes
suddenly without I can’t hold on any longer.
“.........” Argi diam. Menyisakan suara iphone-nya yang
berdering di atas meja kami dan kemudian ia ubah ke mode getar.
“So, Gi, I want ask you a permission to pull my self back on
you..”
Ada desahan panjang menyertai kata terakhir yang diucapkan
Kanaya. Dadanya sesak. Lega, haru dan malu.
Membayangkan kalimat-kalimat itu tak pernah keluar dari
mulutnya, adalah satu-satunya yang inginkan
“Pull yourself back? On me?” tanya Argi yang diikuti bunyi
getar dari Iphone-nya di atas meja
Kanaya menganggung mantap.
“So.. no more Sunday spent well?” tatapan Argi berubah
menjadi dingin.
“Yap. Harap maklum ya. But, don’t worry, Gi. I am still the
same person you met two years ago as a co-worker. Here, I'm professional, kok.”
Dan Kanaya tidak memperdulikan lagi kata-kata setelahnya.
Yang dia ingat malam itu, pekerjaan membawa laki-laki di hadapannya harus
pergi, malam itu juga.
Call duty. Ia mengerti. Hal yang menjadikannya bos kecil, sekarang
memanggilnya di Minggu malam terakhir mereka bersama.
Minggu malam 1 Januari itu, menguji kesabaran dua manusia untuk lebih memahami keikhlasan.
No comments:
Post a Comment