Wednesday, March 27, 2019

14 : Stop this train ( What If )


Perjalanan ini membawa seonggok daging bernama Ardi berperang dengan pikiran-pikirannya.

Perang dengan hatinya.
Perang dengan waktu
Perjalanan ini membuat Ardi banyak berpikir,
Tentang keluarganya yang begitu ia sayang kemudian acuhkan
Tentang citanya yang begitu ia pertahankan kemudian ia tinggalkan

Tentang waktu yang sering ia permainkan.
Jika selama ini ia menganggap waktu adalah pelari maraton yang rela menunggu sampai pelarinya sebelumnya tiba,
Kali ini sadar bahwa waktu tak bisa menunggu, seperti petarung.
Ia ada di setiap langkah yang kita ambil.
Ia yang tak bisa menunggu, tak bisa berhenti walau bisa sesaat menengok ke belakang.
Jika selama ini ia menganggap dirinya adalah petarung tangguh. Si waku yang dikenalnya sekarang adalah petarung paling tangguh di jagad raya ini.
Ia mulai kalah lagi

Masih  5 jam lagi kereta ini berhenti di tujuan akhirnya. 

Dimana tujuan akhirnya?
Bagi Ardi yang tak mampu lagi menganggap Rumah ibu adalah tujuan akhirnya, sulit rasanya menemukan tempat nyaman setelahnya. 
Satu hal yang ia pelajari betul di negara timur sana, bahwa rasa nyaman tak bisa dipikulnya sendiri yang tinggal di flat 6 x 5 meter,
bahwa rasa nyaman tak bia ia temui di tempat orang-orang yang baru dan singgah sebentar. 
Rasa nyaman yang ingin ia rasakan kembali itu sepertinya menguap bersama langkah kakinya memilih meninggalkan rumah ibu. 

Matahari hendak terbenam saat Ardi memutuskan beranjak dari tempat duduknya dan menuju gerbong 4, cafetaria. 
Tempat ia ingin menghabiskan satu cup kopi standard buatan kereta api tanpa kebisingan dari celoteh penumpang sebelahnya, depannya atau rengekan anak kecil.
Bukan tak suka, hanya ia sedang menikmati perjalanannya. 
Lagi lagi, ia ingin perjalanan ini menjadi perjalanan menemui Ardi yang sesungguhnya. Memanggil Ardi yang ia mau.
"Ardii...!!" seru seseorang. Terlihat gadis mungil berkerudung pink berdiri melambaikan tangan. Wajahnya yang ekspresif, seolah magnet yang menarik Ardi terpaksa mendekatinya.
"Hei, Nay. Mau kemana?" tanyanya senormal mungkin.
"Gue sih mau pulaang. Lo sendiri mau kemana? Hahahaha...kok bisa sih,"
"Oh iya ya. Rumah lo Jogja ya.  Mau ke kondangan temen gue, Nay."
"Ohhh. I see. Ini trus mau kemana? Ke gerbong 4 yaa? Ikutan donggg.." tanpa perlu mendengar jawaban Ardi, gadis itu mengemas sedikit barangnya ke sling bag dan beranjak. 
"Bukk Mar, ini Zidan biar tidur aja di sini, Bu. Saya bakal lama kok, Bu." 
Praktis Ardi tersenyum tipis mendengar perkataan Kanaya. 
"Ndak usah Mba Naya, gapapa di sini aja."
"Ndak apa, Buk Mar. Mubadzir ga ditempatin, Bu."
Kanaya membantu merapikan bantal dan alas tidur adik balita yang tadi duduk disebelahnya dan melipir ke pinggir bangku menuju teman lelakinya yang sudah menunggu. 
"Yuk, Di."
Balik kanan senyum tipis masih bertengger di sudut bibir Ardi. Senyum miris.
Tujuannnya menikmati sisa perjalanan ini dengan asik memikirkan dirinya sendiri, sepertinya kandas.
"Ihhh tau ada lo mah gue daritadi aja yaa ke cafetarianya."
Dirampas telak oleh gadis mungil yang mengekor di belakangnya.
Ardi masih tersenyum heran dengan takdir yang dibuat untuknya,
Berapa peluang perbandingan ia bertemu dengan Naya, di sebuah kereta yang membawa mereka 5 jam ke depan dalam satu ruang.
"Hahaha..boong. Ok, kalo nggak punya berarti emang di sini lagi cari ya? Pas banget, banyak temen-temen gue minta dicomblangin,"
"Dicomblangin gimana?"
"Ye menurut gue sih lo cocok sama beberapa temen gue sih,"
"Jadi maksudnya gue high quality single gitu ya?"
"Iyaah.. sort of.."
"Jangan suka nyomblang-nyomblangin orang lo. Nanti kesengsem sendiri, baru deh, rasain"
"Ya nggak sama lo juga kesengsemnya.." protes Kanaya.
 "Kalo gue bisa bikin lo kesengsem sama gue gimana?" tanya lelaki di depan Kanaya yang tanpa sadar sudah mengarahkan mukanya mendekat ke arah Kanaya.
Kanaya sempat terdiam,
"Sookkkk,"
"Lhoh, ini beneran lo. Kalo gue bisa gimana?"
"Nggak bakalan."
"Karena?"
"My heart belongs to someone else." tegas Kanaya. Ardi tersenyum simpul dalam diamnya.
Tepat di luar jendela, pemandangan berubah kontras. Warna padi menguning memenuhi seluruh sudut mata Kanaya dan Ardi. Sama-sama tertegun, mereka memilih menikmati pemandangan langka itu dalam diam. Pemandangan yang memang mereka tunggui daritadi.
Jugjugjugjug...... jugjugjugjug....
Suara mesin kereta api kini makin terdengar jelas diantara keduanya yang masih asik memandang luar jendela kaca kereta. Menelusur pikiran dan hati masing-masing. Mengagumi dan merekam pemandangan itu dengan hati dan memori masing-masing.
"Di?"
"Hmm.."
"What if we could stop this train? Right now, right here."
"Hmmm.." wajah lelaku di depan Kanaya itu sedikit kebingungan.
"I mean, what would you do?"
"Duduk di sini aja mungkin, sampe keretanya jalan lagi,"
"Kalau gue, lebih milih turun dari kereta terus foto-foto,"
"Ini gue nggak nanya lho, Nay,"
"Hah! Kampret. I just let you know,"
"Hmmmm..I know the person who will join with you?"
"Then whoooo?"
"Argiaksa Mahendra,"
"..." Kanaya hanya mengernyitkan alisnya. Tak mengerti
"Iya, Mas Argi lo itu. Yahhh.. you know what I mean,"
Kanaya terdiam, pandangannya mengabur tak seiring dengan ingatan akan senyum si penghuni hati.
Dia menyerah lagi, lagi-lagi semesta menuntut memorinya memanggil gambaran silih ganti mimik muka Argi.
"Tapi, kalau gue Nay, I prefer to staring at you,"
"Tsaaahhhh.. gaya lo , Di.. Di.."
"Ih.. serius lho,"
"Ini gue kan ngga nanya lho, Di,"
"Hahahaha.. sial dibalikin!"
"I've learn from the best,"


















No comments:

Post a Comment