Monday, February 10, 2014

Sound of Mother Earth : Papandayan Mt.

Ini kali kelima, dan belum satupun ada tulisan tentang bagaimana aku mendeskripsikan sebuah visualisasi dari apa yang kulihat disini.
Di tanah ibu pertiwi

Setelah pertama G. Salak dengan langit yang menyuguhkan awan kumulonimbus
Yang secara sukses menghadirkan efek iriku terhadap awan yg indah
Sekaligus efek takut dan posesif ingin memilikinya
Nah, kira" langit apa yg sampai membuat kami para pendaki amatiran sampai rela menatapnya berjam jam?
yap!Sekali lagi, hanya langit berawankan kumulonimbus yang terlihat dr kaki G. Salak
Yang garis horisontalnya sangat sempurna membelah awan mendung dan cerah

Kedua dan ketiga, dan keempat tentunya
G. Gede dan Pangrango
Mau lihat istana awan?
Bukan dsini tempatnya
Disini aku disuguhkan istana dengan padang adelweis dan bunga cantigi di selanya 
Ditambah air terjun cibereum
Ditambah telaga warna
Ditambah pemandian air panas
Ditambah tanjakan setan
Tuhan, sebegitu dermanya diri-Mu, yang selalu menambahkan suguhan untuk kami nikmati.
Makin besar tanggung jawab kami untuk menjaganya tetap ada
Hukuman bagi kamikah?

Kelima ini
Aku melihat lawang angin di G. Papandayan
Lawang angin artinya 'Pintu Angin',
Sebuah gerbang berkabut yg akan kamu lihat setiap menengadah keatas
Menanti tas ini diletakkan, berharap ada tanah lapang tempat tumbuhnya tanaman indah,
dan yang terpenting ingin tahu kehidupan apa yang ada di balik gerbang itu

Namun, sebelum sampai disana
Awan belerangnya menyengat hidungmu dan menstimulus untuk berpikir
'Akankah aku mati seperti Soe Hok Gie dg menghisap bau ini?'
Ternyata tidak.
Karena selanjutnya aku disambut rumpunan bunga centigi
Cantik. Aku suka
Suka sekali walaupun aku sudah pernah menemuinya

Sehabis itu aku berbincang pendek dengan batu, akar pohon, tanah belerang
(memang agak aneh hobiku yang satu ini)
Aku tak merasakan apa" sampaiiii..
Suara deras air terjun bersautan
Dan gerimis datang berebutan menimpa wajahku
Segar. Aku luluh.
Dia perawani mukaku yg dari kemarin sore belum tersentuh air sedikitpun.
Sampai akhirnya dipinggir tebing,
Lagi" aku takjub, sudah sejauh ini kah aku berjalan melawan segala
Aku sampai di lawang angin.
Dan ternyata hanya padang rumput biasa seluas kira" 1 hektar
Ada gubuk volunteer yg diisi oleh bapak" club sepeda mountainbike.
Selamat malam. Sampai bertemu di detik nanti aku terjaga
(Ditulis di waktu sebelum sleepingbag ditutup rapat, di salah satu tenda di pd.Selada)

Selamat pagi
Begitu tadi pagi aku menyapa tenda pelindung, 
Hari ini aku disuguhkan kembali padang Hutan Mati yang ..
Sungguh mempesona! 
Kamu seperti dibawah ke belahan benua lain, bukan di Indonesia
dan fakta bahwa kaki dan tubuhnya masih menyatu di tanah Indonesia 
It's more than amazing!
I feel blessed! We feel bleseed!
(Ok, mulai deh banyak tanda seru di post ini )

Ku jumpai satu persatu batang pohon yang menghitam tanpa dedaunan hijau
Hutan ini benar-benar mati. Tak ada satupun hehijauan di sini
Kabut yang berarakan, terselip lembut diantara batang-batang mati yang masih tegak berdiri
Dan lagi.. berserakannya batang mati di tanah berpasir memanjakan kakiku dengan celana kucincing sedikit
Dengan background puncak semu Gunung Papandayan yang tak mau pamer keindahannya, kami semua dimanjakan dengan semua nikmat itu.

Dengan adanya aktivitas kami untuk prewedding Mba Dina dan Mumu, 
Kami habiskan berjam-jam untuk persiapan sampai dengan berganti gaya 
Aku?
Di sela-sela riuhnya adegan itu, tetap mencoba mencari objek yang nantinya akan kuabadikan 
bukan cuma diingat di memori jangka pendek ini

a never pass-through object 


Aku bahkan sengaja terapi buka-tutup mata, kuamati suguhan pemandangan itu, kemudian kututup mata berharap tangkapan si indera penglihatan bisa dilanjutkan ke otak untuk menstimulus memori lebih lama.
Aku ingin lebih lama menyimpannya. Untuk diriku sendiri. 



No comments:

Post a Comment